Untukmu,
yang masih terus kusebut dalam doa
Hey, sedang apa kamu sekarang?
Kubayangkan dirimu sedang tenggelam
ditengah kesibukan. Serius menatap layar, memeras otak untuk belajar, atau
tengah asyik berbincang bersama kawan seperjuangan. Sadarkah dirimu, kamu
selalu tampak lebih gagah saat sedang berkonsentrasi penuh seperti itu?
Aku ingin segera bisa menyapukan jariku di tulang rahangmu. Meletakkan kepala
pada jarak antara kepala dan bahumu.
Aku, merindukanmu. Dari dulu.
Sedang apakah dirimu sekarang?
Berani bertaruh, keberadaan calon
istrimu ini sedang tak sedikit pun berkelebat di pikiran. Kau kerap
menyingkirkanku demi bisa fokus mengejar impian. Tapi tak layak rasanya jika
kuangkat suara keberatan. Menyadari bahwa kau telah dipersiapkan sepatutnya
membuatku merapal syukur tak berkesudahan.
Aku selalu membayangkan bagaimana
nanti kita akan bertemu. Apakah akan lucu, romantis atau justru sebenarnya kau
dan aku sudah saling mengenal dari dulu? Apapun jalannya, aku berharap kelak
kita akan saling menemukan. Bertukar pandangan untuk kemudian tahu:
Akulah muara akhir petualanganmu.
Kehadiranmu, mencukupkanku.
Sayang,
yang namanya selalu terapal dalam doa dari fajar hingga ujung malam
Sesungguhnya aku tak sabar ingin
segera bisa mengajakmu jalan-jalan. Kita memang bukan pasangan yang gila pada
kencan romantis di kafe yang harganya membuat pupil mata membesar.
Hari-hari kita akan dilalui dengan
biasa-biasa saja. Di pagi hari, kau mengecup keningku sebelum berpisah untuk
bekerja. Kebutuhan hidup memang makin tak bisa dipenuhi jika tidak disokong
berdua. Kesibukan kadang membuat kita lupa untuk saling berkirim kabar.
Jangankan saling mengirim pesan mesra, ingat mengabari sedang di mana saja
sudah untung.
Saat malam tiba, kau dan aku akan
bertemu di rumah tanpa banyak bicara. Makan malam, kemudian naik ke tempat
tidur bersama. Jika tak terlalu lelah, kita akan saling pandang sebelum
memutuskan untuk bercinta.
Anehnya, rutinitas sebagai manusia
dewasa tidak pernah terasa membosankan. Pendampinganmu memberiku alasan
untuk bangun di pagi hari sebelum kemudian berjuang lagi.
Setiap tahunnya kita wajib punya
ritual untuk kembali jadi manusia. Menjelajah tanah yang belum kita pijak sebelumnya.
Kau dan aku akan bersama mengangkat keril. Menaklukkan puncak-puncak tertinggi
bersama. Naik kereta keliling Jawa, menyeberang ke Bali, menjejakkan kaki di
Nusa Tenggara. Kau gigih berburu penerbangan termurah ke Papua sementara aku
mengepak logistik untuk ekspedisi kita ke Puncak Jaya. Sesekali kita bentangkan
peta dunia di hadap kita, menunjuk satu tempat secara acak yang kemudian kita
doakan jadi destinasi liburan tahunan selanjutnya.
Tak jarang aku protes pada
mahalnya tiket keliling Indonesia. Merayumu untuk memilih melancong ke luar
negeri saja. Jawabanmu membungkam kata,
“Kita harus lebih dulu mengenal
Indonesia. Demi bisa mengenalkannya ke anak-anak kita”.
Betapa beruntungnya aku menemukanmu,
yang mencintaiku sebesar mencintai tanah airnya. Saat salju abadi akhirnya
terjamah tangan, kau pun menatapku dan berkata:
“Tuntas sudah janji kita pada calon
anak atas Indonesia. Siapkan dirimu melihat dunia”.
Esoknya, akan kutemukan
kau bekerja lebih keras demi bisa membawaku ke Venesia.
Sebelum
kita sempat bertemu, izinkan aku mengucap terima kasih atas keberadaanmu
Terima kasih telah mempersiapkan
dirimu untuk menyambutku. Kau mengorbankan waktu tidurmu, merelakan indahnya
masa mudamu demi bisa lebih siap menjemput masa depan bersamaku. Saat
teman-temanmu kecanduan main DoTA, kau justru begadang demi menyelesaikan tugas
terakhirmu sebagai mahasiswa. Kau memilih belajar bekerja dibanding nongkrong
hingga pagi buta. Mengikhlaskan gelak tawa yang semestinya kau nikmati sampai
puas semasa muda. Terima kasih atas kedewasaanmu. Sebagai pria, kamu sadar
harus lekas lulus dan mulai menjajaki dunia yang sebenarnya.
Terima kasih sudah tumbuh jadi
lelaki yang bisa diandalkan. Kamu tak hanya lihai memperbaiki mobil dan
mengganti ban, namun memang layak jadi panutan. Di sampingmu aku tak pernah
merasa kekurangan. Kamu tak hanya menghujaniku dengan berbagai pemenuhan
kebutuhan, tapi juga menghujaniku dengan banjiran perhatian.
Bersamamu kutemukan pendampingan
yang membebaskan. Kadang tak habis pikir, kenapa aku yang banyak kurang bisa
begini mudah mendapat keberuntungan?
Aku
bukan wanita sempurna. Mendampingiku akan membuatmu melihat banyak cela
Diluar sana masih banyak yang lebih
cantik dibanding aku. Mereka yang lebih lihai memadankan baju, cerdik
memulaskan pewarna di muka tanpa harus canggung dihadapmu. Tapi kau menganggap
semua aksesori itu tak perlu.
Kau ikhlas mengakrabi nadi di gurat
leherku, kau pasrahkan liat tubuhmu pada tak lentiknya jari tanganku. Tak
jarang aku malu saat kita bercumbu, namun kau lihai menyihirku jadi penggoda
nomor satu: hanya untukmu.
Maafkan aku yang belum juga pintar
memasak. Tak jarang kau akan temui makanan sederhana yang masih keasinan pula
di akhir hari panjangmu. Alih-alih memarahiku, kau hanya mengusap rambut dan
kemudian menuang kecap banyak-banyak.
Katamu sambil berusaha tersenyum
manis,
“Ini enak kok, cuma perlu agak manis
sedikit.”
Kau habiskan hidangan itu banyak
tanpa protes. Padahal kau bisa saja keluar rumah, memilih membeli makanan di
restoran yang tak pernah mengecewakan lidahmu.
Terima kasih, untuk selalu menjaga
hatiku.
Jika
suatu hari kita bertengkar hebat, tolong ingatlah…
Kita bisa berubah jadi monster
paling menyebalkan bagi satu sama lain. Kamu sudah tak tahan lagi dengan omelan
cerewetku yang kadang memang tak ada habisnya. Aku pun tak lagi bisa
mentoleransi kebiasaanmu yang terlihat jorok di mataku. Bagaimana bisa kaus
kaki kotor tak kau taruh di keranjang cucian? Justru kau biarkan tergeletak di
lantai kamar.
Kamu ingin aku menerimamu apa
adanya. Aku berharap kau berubah. Kita saling membentak. Jari tertuding tak mau
kalah.
Saat aku sedang keras kepala –
peluk aku dan ingatkan — mau tak mau salah satu dari kita harus diam.
Cinta bukan kompetisi yang perlu menghitung poin menang-kalah. Waktu kau lelah
menghadapi egoismeku, bicaralah. Calon istrimu ini tak pandai membaca kode
tanpa arah. Di titik kau tak mampu lagi dan ingin pergi, ingat kembali. Tuhan
tak mungkin mempersatukan kita dengan suci hanya untuk semudah itu diakhiri.
Maka,
bersediakah kamu?
Maukah kau jadi kawan terbaikku
membangun masa depan? Jadi orang yang aroma badannya kuhirup saban malam. Pria
yang namanya tak pernah alpa kusebut di tiap sujud dan tangkupan tangan.
Kita akan memulai segalanya dari
nol. Barangkali kau dan aku tak akan langsung hidup nyaman. Rumah
kontrakan sederhana juga sudah cukup membahagiakan.
Sudikah kamu jadi Bapak dari
anak-anakku? Mereka yang akan kita dewasakan bersama. Nyawa-nyawa baru yang
akan kita biasakan untuk rajin membaca. Tak mengalah pada kuasa tablet digital
yang membuat mereka kian tak peka.
Akankah kau mengijinkanku
jadi wanita yang memiliki nama belakangmu?
Menjadi pribadi terhormat yang mengandung anak dari benihmu.
Maukah kau menghabiskan masa
denganku? Dengan rendah hati menerima segala kurang dan lebihku, mengingatkanku
untuk lebih bersabar setiap nada suaraku mulai meninggi karena kesal. Aku tak
bisa menjanjikan apa-apa, selain akan lebih berusaha untuk jadi wanita yang
membahagiakanmu dalam berbagai masa.
Kita akan menua bersama,ditemani
tawa dan kerut yang makin nyata.
Berjanjilah, tak peduli nanti
kita akan berselisih paham; kekurangan uang; anak-anak kita berulah dan
menyusahkan kau dan aku akan kembali saling menatap untuk menemukan keyakinan
: selama masih bersama kita akan tetap baik-baik saja.
Relakah priaku, jika kau
kudampingi sampai surga?
Sayang,
dari 3,4 miliar pria diluar sana: aku berharap kamu ada.
Sampai
kelak kita bertemu,
Calon
Istrimu
Komentar
Posting Komentar